Profesi Guru yang Kini Kurang Diminati

Profesi Guru Profesi Guru

Guru, digugu dan ditiru. Ungkapan yang tidak lagi asing jika kita mendengarnya. Akronim jawa ini memiliki makna yang mendalam. Guru menjadi sosok yang dapat dipercaya dan diteladani. Posisi guru yang begitu agung tersebut bukanlah tanpa sebab. Pasalnya, guru sangatlah menjadi panutan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan masyarakat tidak akan melihat mata pelajaran apa yang diampu oleh guru tersebut, asalkan dia adalah seorang guru maka masyarakat akan sepakat bahwa ia bisa diandalkan.

Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ayyuhal walad, mengatakan guru bagaikan minyak wangi. Seorang guru itu harus wangi dengan ilmunya dan menyebarkan wewangian kepada lingkungan yang ada di sekitarnya, ia menjadi aromatherapi bagi masyarakat yang haus dengan ilmu pengetahuan dan nasehat yang berharga. Imam al-Ghazali juga menyebut guru sebagai orang besar, ia mengumpamakan bagaikan matahari yang menerangi dan memberikan kehidupan bagi manusia.

Membaca kalimat di atas sepantasnya profesi guru menjadi profesi idaman bagi setiap orang. Karena sudah jelas, rata-rata semua profesi yang dilahirkan adalah buah dari aktivitas pengajaran yang dilakukan oleh guru kepada murid-murid. Sehingga guru adalah profesi yang sangat mulia. Tapi kita lihat sejenak di zaman yang sudah mengalami perkembangan teknologi dan informasi, serta munculnya kalangan anak muda yang disebut milenial.

Kalangan milenial selalu dikenal sebagai kaula muda yang haus akan hal-hal baru. Mereka selalu terpacu pada tantangan-tantangan, senang memilih profesi-profesi yang cenderung lebih mengembangkan usaha sendiri atau berwiraswasta dibandingkan bekerja kantoran. Nyaman bekerja di perusahaan yang memiliki fasilitas lengkap. Dan memilih pekerjaan yang fleksibel.

Sebagai generasi yang dibesarkan di era teknologi dan digital, memudahkan mereka dalam memperoleh segala macam informasi serta sumber daya yang diperlukan, generasi milenial menjadi kaum yang selalu berusaha mencari peluang baru yang mampu membawa mereka secepat mungkin sampai ke tujuan hidupnya. Pertanyaannya, apakah profesi guru menjadi profesi yang diinginkan oleh kalangan milenial?

Profesi guru memang tidak bisa lepas dari aturan-aturan, bekerja di suatu ruangan dan terikat pada suatu konsekuensi. Hal ini dapat menjadi sebab kalangan milenial kurang tertarik menjadi seorang guru. Berdasarkan hasil angket untuk mengetahui aspek non kognitif termasuk cita-citanya, hanya 11 persen siswa peserta Ujian Nasional (UN) tingkat SMA 2018/2019 yang ingin menjadi guru. Sisanya, 89 persen peserta lebih memilih profesi lain seperti menjadi pengusaha, bahkan menjadi presiden.

Lain hal, masih rendahnya minat menjadi guru di kalangan milenial, dapat dilihat dari animo anak muda masuk Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Kemudian data yang disampaikan oleh Tanoto Education bahwa Indonesia akan mengalami kekurangan guru, jumlah guru pensiun di tahun 2022 ada 77.124 orang, lulusan PPG Prajabatan ada 27.935, dan peserta PPG Prajabatan ada 2.963.

Kondisi seperti ini jika terus berlangsung akan timbul kekhawatiran bagi bangsa. Jika profesi guru menjadi profesi yang mulai langka. Siapa yang akan mengantarkan tujuan bangsa untuk menjadi bangsa yang cerdas.

Reformasi Administrasi dan Birokrasi

Semua sudah sama-sama saling mengetahui bahwa jenjang karir guru untuk mencapai puncaknya sebagai kepala sekolah sangatlah lama. Seorang guru harus menempuh berbagai posisi dan status kepegawaiannya. Misalnya, seorang guru harus tercatat terlebih dahulu dalam Sistem Informasi dan Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian Agama (SIMPATIKA), bagi guru yang mengajar di lingkungan kementerian agama.

Sedangkan bagi guru yang berada dilingkungan Kemendikbud-Dikti harus masuk dalam Data Pokok Pendidikan (DAPODIK). Hal tersebut dilakukan sebagai syarat memenuhi panggilan program Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk memperoleh sertifikasi guru. Waktu yang dibutuhkan untuk mengikuti program PPG sekitar lima tahunan.

Kemudian bagi guru yang sudah menjadi pegawai negeri sipil, mereka harus menunggu kenaikan-kenaikan golongan. Mulai dari golongan 3A-4E. Kenaikan per-tiap golongan setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun. Sehingga jika dikalkulasikan kurang lebih dibutuhkan waktu 36 tahun. Kenaikan golongan tersebut bukan tanpa syarat, semisal harus membuat karya ilmiah penelitian tindakan kelas.

Jenjang karir yang lama inilah yang membuat kalangan milenial merasa tidak tertarik untuk menjadi guru. Bagi mereka, rentang waktu tersebut adalah perilaku membuang-buang kesempatan dan peluang untuk dapat mengembangkan diri. Selain itu, milenial condong pada hal yang instan dan mudah didapat serta tidak mau ribet mengurusi administrasi-birokrasi yang berbelit-belit.

Persoalan gaji, persolan yang selalu ramai diperbincangkan oleh guru-guru honorer. Mereka beranggapan guru honorer di tanah air masih menjadi hal yang dilematik. Guru honorer hidup dalam kesenjangan dan jauh dari kesejahteraan. Tidak peduli berapa mata pelajaran yang diampu oleh mereka, gaji mereka tidak sepadan atau masih mendapatkan bayaran yang rendah.

Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara lain. Mereka memahami bahwa guru memiliki tugas yang berat dalam mendidik calon-calon penerus bangsa dan meningkatkan sumber daya manusia yang unggul untuk menopang keberlangsungan negara. Sehingga di negara lain kehidupan para guru sangat diperhatikan. Segala kebutuhannya dicukupi, bahkan gajinya bisa lebih besar dari penjabat-penjabat negara.

Maka kalangan milenial yang ingin hidup serba layak, menghindari profesi guru dan lebih memilih profesi-profesi lain. Profesi yang bisa memberikan kesejahteraan hidup mereka.

Hal di atas menjadi catatan yang harus diperhatikan oleh para pemangku kebijakan. Agar guru tidak lagi menjadi pekerjaan alternatif, berbelit birokrasi, dan lama secara administrasi. Maka penting untuk dilakukan reformasi administrasi dan birokrasi. Sehingga profesi guru menjadi profesi yang humble dan menjadi daya tarik milenial untuk mencerdaskan bangsa.

Kampanye dari Kemendikbud

Masih ingat dengan fenomena SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok). Fenomena yang menampilkan kalangan milenial memakai pakaian eksentrik lalu berjalan layaknya penampilan fashion show. Penampilan tersebut mengundang banyak orang untuk berdatangan, mulai dari kalangan masyarakat biasa, penjabat daerah, dan penjabat negara. Mereka datang hanya sekedar untuk menumpang eksistensi, mengampanyekan pariwisata, dan juga memanfaatkannya sebagai ladang bisnis.

Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa potensi milenial sangatlah besar dan berpengaruh terhadap masa depan bangsa. Tapi sayangnya saya tidak melihat pak menteri pendidikan mengejawantahkan SCBD sebagai contoh bahwa milenial memiliki potensi yang besar.

Kemudian bonus demografi yang akan dialami oleh bangsa ini, menempatkan jumlah kalangan milenial sebagai kalangan dengan jumlah terbanyak. Jumlah milenial diperkirakan mencapai 70 % usia produktif.

Peluang ini jangan sampai dilewatkan begitu saja. Agar kualitas pendidikan meningkat, maka pemerintah seharusnya sudah mulai melakukan kempanye pendidikan besar-besaran. Khususnya kampanye kalangan milenial agar tertarik menjadi guru. Kemendikbud harus bisa mengemas pentingnya profesi guru untuk dipilih oleh kalangan milenial.

Jangan sampai sektor ekonomi dan pariwisata menjadi sektor yang selalu diutamakan dan mendominasi untuk dikampanyekan kepada kalangan milenial, sebagai dalih pemulihan negara akibat pandemi. Kemendikbud-nya sendiri malah terlalu fokus mengampanyekan kurikulum merdeka dan membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang justru mendatangkan polemik.

Meminjam kata dari Najwa Shihab “hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bertahan”.